

Erzhal Umamit
Nama saya Erzhal Umamit, saya adalah seorang seniman dengan pendekatan mix media. Saya tertarik terhadap dunia seni, dan hal ini mendorong saya untuk terus menggali potensi diri dalam berkarya. Saat ini, saya fokus untuk mengabadikan berbagai peristiwa yang terjadi di Maluku, mulai dari keindahan alam, kekayaan budaya, hingga dinamika kehidupan sosial masyarakatnya.
Melalui karya saya, saya berusaha untuk menyampaikan narasi yang mendalam tentang identitas dan kehidupan yang ada di Maluku, sebuah wilayah yang kaya akan keanekaragaman dan keindahan.
Selain berkarya secara individua, saya juga aktif dalam beberapa kolektif seni, seperti Pattimura Creative Space dan jalanjalanbandaneira di mana saya dapat berbagi ide, pengalaman, dan kreativitas dengan sesama seniman. Keterlibatan dalam kolektif ini memberi saya perspektif yang lebih luas tentang seni dan membentuk kolaborasi yang memperkaya proses kreatif saya.


Judul : Apa Kabar Banda Hari Ini
Pala, rempah yang harum , pernah menjadi alasan dunia berebut Banda neira. Di mata kolonial, ia bukan sekadar bumbu, tapi emas wangi yang bisa menguasai pasar dan kekuasaan. Namun, bagi rakyat Banda, pala tak selalu menjadi berkah. Ia adalah awal mula dari duka yang panjang.
Empat abad lalu, pada 8 Mei 1621, genosida pertama terjadi di Banda neira. Sebanyak 44 orang kaya Banda dieksekusi di Benteng Nassau oleh kekuasaan kolonial Belanda mengunakan ronin sebagai tim eksekutor, setelah sebelumnya membuat eksodus masyarakat asli banda ke kepulauan kei yang di kenal saat ini banda eli.
luka belum benar-benar sembuh hingga hari ini. Kini, Banda tidak lagi menghadapi senjata atau samurai. Dalam diam, pulau ini kembali mengalami pembantaian—bukan terhadap manusia saja, melainkan terhadap alam. Sampah-sampah plastik, limbah konsumsi, dan kerak industri pariwisata perlahan menyusup ke dalam tubuh pulau. Ia mencemari laut, mengganggu keseimbangan ekosistem, dan mematikan kehidupan secara perlahan.
Saat Ini bukan lagi genosida, tapi ekosida. Sebuah pembunuhan terhadap lingkungan hidup yang dilakukan secara sistemik, dengan wajah yang lebih halus—kemasan indah pariwisata, pembangunan tanpa kendali yang dilindungi oleh seperangkat undang- undang , dan ketamakan yang tak pernah benar-benar pergi.
sejarah seolah berulang, hanya wujudnya yang berganti. Pala pernah menjadi alasan kolonial bangsa ini. Kini, limbah menjadi luka baru. Dalam karya ini, saya mengajak melihat Banda tak hanya sebagai lanskap eksotis, tapi sebagai tubuh yang terus diperkosa oleh kita MANUSIA
Ukuran : 90 x 60cm
Medium : Print
Tahun : 2024